Perjalanan Mengenal Aku
Sebuah kontemplasi di Hari Pendidikan Nasional
Delft, 2 Mei 2015
… I don’t mind if I have to sit on the floor at school. All I want is an education and I am afraid of none… – Malala Yousafzai.
Sebuah quote yang saya baca pagi ini di timeline social media dari penerima Nobel Prize laurete termuda. Seorang gadis aktivis dari Pakistan penggiat pendidikan untuk wanita. Di usia yang sangat muda (11 tahun), dia menulis blog dengan nama samaran kepada BBC urdu, untuk menceritakan kisah hidupnya dibawah tekanan regim Taliban yang melarang wanita untuk pergi sekolah. Lewat tulisannya dia membagikan kisahnya tentang bagaimana ia mengajak gadis-gadis dan wanitanya untuk tetap mengeyam pendidikan dalam keterbatasan. Semangat yang luar biasa, pengingat untuk kita semua bahwa pendidikan adalah salah satu senjata terampuh untuk memperbaiki keadaan dan taraf hidup.
Saya setuju bahwa pendidikanlah yang dapat membuat seseorang dapat menaikkan taraf hidupnya ke tempat yang lebih baik. Namun, saya ragu, bahwa pernyataan itu valid untuk diterapkan dalam segala kondisi.
Benar adanya pendidikan adalah jembatan, yang menghubungkan ketidaktahuan dengan informasi, membuat yang tidak tahu menjadi tahu, yang terkadang bisa menjadi penyelamat dari perkara hidup dan mati. Contohnya, seperti pengetahuan akan penyakit AIDS untuk saudara-saudara kita di Afrika. Tanpa adanya edukasi seksual, penyakit AIDS dengan mudahnya menyebar dan merenggut nyawa orang-orang di Afrika. Di kasus ini, pendidikan adalah mutlak. Harus diberikan karena manfaatnya.
Di situasi yang lain, peran pendidikan agaknya sudah menjadi bias. Sudah terlampau sering kita mendengar harapan bangsa ini diletakkan pada kita, sebagai penuntut ilmu setinggi-tingginya, meniti jejak pendidikan sarjana, magister, maupun doktor. Ini merupakan pertanyaan besar bagi saya. Apakah benar bahwa pendidikan dan impactnya adalah berbanding lurus, semakin tinggi tingkat pendidikannya, semakin tinggi manfaat baiknya? Kok rasanya bagi saya tidak mutlak seperti itu.
Saya berpendapat, bahwa terkadang pendidikan tinggi adalah pedang bermata dua. Ia dapat memberikan manfaat namun juga dapat menjadi bumerang. Ya memang, pendidikanlah yang dapat menaikkan derajat dan mengubah nasib. Tapi pendidikan di mata saya ada dua macam. Pendidikan intelejensi dan pendidikan karakter. Inilah yang menurut saya, terkadang dilupakan. Pendidikan intelejensi sudah dianak-emaskan, digembar-gemborkan, sehingga pendidikan karakter terlupakan begitu saja.
Tak sedikit saya melihat pendidikan jenjang formal untuk mengasah intelejensi telah merugikan. Ia kadang membuat seseorang merasa superior, merasa bahwa pendidikan telah memberikan standar baru pada hidupnya. Jadi semua-semua harus diukur dalam besaran itu, seperti gaji dan teman bergaul. Di kala S2 or S3 telah di tangan, ketika kinerjanya dihargai dengan gaji dibawah dari ekspektasinya, dia merasa gusar, “Masa pantas S2 or S3 digaji segitu, apalagi lulusan luar negeri. Pengetahuan yang saya miliki terlalu berharga untuk hanya dinilai segitu.” Sangat lucu ya mendengarnya. Mungkin ia lupa filosofi padi yang diajarkan guru SD kita.
Lebih parah lagi, sekarang pendidikan intelejensi telah mengkotak-kotakkan kita para wanita. Memojokkan, bahkan cenderung mendiskreditkan. Masyarakat telah berubah sangat drastis, dulu, wanita tidak boleh sekolah tinggi-tinggi. Yang diidamkan adalah wanita rumahan tak perlu pendidikan muluk-muluk. Sekarang, yang didewikan adalah wanita-wanita pintar, pengenyam pendidikan tinggi, lulusan perguruan tinggi bergengsi atau luar negeri. Seolah-olah perempuan-perempuan dengan pendidikan intelejensi pas-pasan tak ada artinya. Seorang gadis lulusan Madrasah Aliyah dengan pendidikan karakter kuat, berbudi dan santun mungkin akan kalah pamor di depan para laki-laki dengan mbak-mbak lulusan luar negeri dengan gelar S2 di kantong meskipun si mbak-mbak bergaya hidup bebas. Katanya, carilah calon istri yang pintar, because if you educate a woman, you educate a generation. Propaganda inilah yang semakin menyisihkan perempuan-perempuan lugu berkarakter kuat di masyarakat kitta, hanya karena ijazah mereka hanya sampe SMA atau SMK. Edukasi sudah jauh disalahartikan dengan hanya ukuran ijazah. Ini hanya contoh. Dan salah satu yang ekstrim. Bukannya saya mengeneralisir, toh saya juga sekarang mengeyam pendidikan tinggi di luar negeri.
Inti yang ingin saya sampaikan adalah, seringkali kita hanya melihat tolak ukur pendidikan hanyalah pendidikan intelejensi yang terukur dalam kertas ijazah, mengesampingkan bahwa ada bentuk lain dari pendidikan, yaitu pendidikan karakter. Mungkin selama ini lebih sulit utuk mengukur proses pendidikan karakter, sehingga ia sering dianggap tak ada. Lebih muda mensyaraktan ijazah untuk berbagai macam tes mulai dari tes cari pekerjaan sampe mencari pasangan hidup.
Janganlah minder, saudari-saudariku di luar sana yang mungkin takberkesempatan bersekolah tinggi. Aku dan kamu sama-sama wanita. Calon ibu para penerus generasi bangsa. Tanggung jawab dan hak kita sama sama besar. Untuk menanamkan nilai-nilai kemanusian kepada calon anak-anak kita nanti. Mari tetap belajar untuk menjadi manusia yang bijak, jujur, dan bermanfaat untuk sekitar, dengan pendidikan apapun itu.
Manusia yang terdidik tidaklah nyaman berada lebih tinggi dari yang rendah, mereka akan berdiri di belakang yang rendah, yang rapuh, yang papa, untuk mendorong mereka bangkit.
Manusia yang terdidik tidaklah canggung berada di antara yang awam, tidak menggurui dan mendahului, melainkan memberi contoh dan membukakan jalan.
Manusia terdidik tidaklah mencemooh, tidaklah menghina, tidak tertawa akan kebodohan orang lain.
Manusia terdidik adalah seorang yang santun, merunduk dan tidak mengumbar kelebihannya, namun mampu berkata bijak, mendamaikan dan mengubah lingkungan sekitar dengan segala yang ia bisa.
Manusia terdidik adalah harapan untuk sekitar, lampu penerang dalam gelap.
Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali” – Tan Malaka, Madilog.
Selamat hari pendidikan nasional rekan-rekan sekalian.